Kekuatan Penghiburan Dalam Himne

On 08/06/2010, in Uncategorized, by admin

Posted by binsar on 22 Nov 2007 at 07:12 pm | Tagged as: Christianity, Reflection

Ketika seseorang sedang menghadapi masa sulit, entah itu masalah kesehatan, keluarga, keuangan, studi, biasanya ibadah juga tidak akan dilewatkan. Ada beberapa lagu himne yang memang menjadi favorit untuk dinyanyikan karena melodi yang sangat tepat dengan keadaan kita dan juga syairnya. “Berserah kepada Yesus: tubuh, roh, dan jiwaku.” Lagu KJ. No. 364 ini sering terdengar dilantunkan oleh beberapa mahasiswa yang akan menghadapi ujian. Atau lagu dari buku Taize No. 37: “Tuhanlah kekuatanku,” juga menjadi lagu pilihan favorit menghadapi masa sulit.

Mungkin sedikit dari kita yang menyadari bahwa banyak lagu-lagu himne memang lahir pada saat-saat tertentu, bahkan pada saat sang penulis sedang mengalami masa paling sulit dalam hidupnya. Penyerahan diri yang total ketika menghadapi pencobaan juga telah menghasilkan inspirasi bagi banyak para penulis lagu-lagu himne. Meskipun pencobaan yang mereka hadapi pastilah berbeda dengan ‘pencobaan’ yang dihadapi oleh kita, namun pencobaan dan ujian yang dihadapi manusia seringkali telah membuat manusia menyerahkan dirinya secara total kepada Sang Pencipta. Dalam saat-saat seperti inilah banyak lagu-lagu himne, yang beberapa di antaranya akan dipaparkan di sini, diciptakan. Dalam kondisi penyerahan diri yang total tersebut, dan juga dalam kondisi setelah lepas dari ujian yang dihadapi, lantunan lagu dan syair mengalir untuk menyerahkan diri dan mengangkat syukur kepada-Nya.

Continue reading »

Tagged with:  

Tips Mengiringi Nyanyian Jemaat

On 08/06/2010, in Uncategorized, by admin
Posted (binsar) in Article, Christianity on February-6-2008
Tulisan ini pernah dibawakan dalam Seminar “Mengiringi Jemaat Bernyanyi” di GKI Serang, dan dimuat di Buletin terbitan Yamuger (Yayasan Musik Gereja).

  1. Berlatihlah sebelum memainkan lagu tersebut. Meskipun anda adalah musisi yang sudah terlatih dengan baik, minimum lihat dan kenalilah selalu lagu yang akan dimainkan.
  2. Kenali dahulu karakter lagu. Hal ini berarti kita harus melihat dahulu siapa pencipta lagu itu, di mana dan dalam suasana apa dia diciptakan (konteksnya). Hal ini akan membantu pemusik untuk memainkan ‘suasana’ musik yang benar.
  3. Lihat dinamika lagu tersebut! Tidak semua lagu dimainkan dengan lambat, dan tidak semuanya dimainkan dengan cepat. Tempo lagu bervariasi, karenanya selalu perhatikan tempo lagu yang akan dimainkan.
  4. Perhatikan birama lagu. Jangan mainkan lagu berbirama 3/4 dengan birama 4/4.
  5. Mainkan lagu sesuai dengan nada dasar yang telah diberikan.
  6. Berikan ‘nafas’ pada intro lagu. Jemaat akan lebih mengerti dengan otomatis kapan dia harus mulai bernyanyi ketika pemusik memberi ‘nafas’ pada intro. Artinya, ada bagian yang dimainkan melambat ketika intro akan berakhir dan jemaat akan mulai bernyanyi. Hal ini akan memberi tanda kepada jemaat di mana mereka harus mulai bernyanyi. Berikan juga ‘nafas’ pada bagian interlude dan ketika akan memulai ayat yang baru. Karena itu, iringan yang menggunakan music box akan lebih sulit untuk diikuti Jemaat, karena mereka sulit untuk tahu tahu kapan harus mulai bernyanyi.
  7. Jangan terpengaruh dengan jemaat. Kadang-kadang Jemaat bernyanyi lebih lambat atau lebih cepat dari tempo yang kita mainkan. Usahakan untuk tetap setia pada tempo yang kita mainkan. Kalau memang sudah terbawa, mainkan kembali tempo yang benar di bagian interlude, agar Jemaat dapat mendengar kembali dinamika yang benar.
  8. Jangan korupsi nilai not. Mainkan not yang bernilai 3 ketuk sebanyak 3 ketuk juga. Banyak pemusik gereja yang mengkorupsi harga not dan memainkannya lebih cepat dari yang seharusnya.
  9. Apabila memungkinkan, penggunaan alat musik yang lain di luar piano dan organ seperti tifa, rebana, tamborin, gitar dapat digunakan untuk menambah variasi iringan. Penggunaan alat-alat musik ini juga harus melihat konteks lagu. Menggunakan tifa untuk lagu “Tabuh Gendang” akan lebih sesuai daripada lagu “Sungguh Lembut Tuhan Yesus Memanggil”. Tidak semua Gereja terbuka bagi hal ini, karenanya konsultasikan dahulu dengan Majelis Gereja.
  10. Hal yang terakhir dan yang tidak kalah pentingnya adalah meminta bimbingan Tuhan sebelum mulai mengiringi nyanyian Jemaat. Ingatlah bahwa kita bermain musik untuk mengiringi Jemaat bernyanyi memuji Tuhan, dan bukan bermain musik di tempat-tempat umum lainnya. Selain itu, hal ini akan membantu musisi lebih tenang dan percaya diri.

Continue reading »

Tagged with:  

Mendengar Dan Melakukan

On 08/06/2010, in Uncategorized, by admin
Posted (binsar) in Bible Study, Christianity on February-4-2008
Ringkasan Kotbah Minggu 3 Februari 2008

GKIN Arnhem

Matius 7:24-27

“Mendengar dan Melakukan”

Saudara-saudara terkasih, bagian Alkitab yang kita baca hari ini adalah penutup dari Kotbah di Bukit (Sermon on the Mountain) yang tertulis di Matius 5-7. Bagian ini menjadi sangat terkenal karena inilah catatan tertulis di mana Yesus mengucapkan langsung ajaranNya kepada banyak orang dalam waktu yang cukup lama. Yesus berbicara tentang banyak hal mulai dari ucapan bahagia buat mereka yang menderita, hal berpuasa, hal berdoa, tentang mengumpulkan harta sampai kepada peringatan terhadap ajaran yang sesat. Yesus mengungkapkan kunci dari pengajaranNya pada nas kotbah kita hari ini.

Pada ayat 21-23 Yesus mengatakan bahwa tidak semua orang yang memanggil dia Tuhan akan selamat. Hal ini menandakan bahwa keselamatan kita tidaklah ditentukan dari seruan kita memanggil Tuhan. Pemilihan keselamatan adalah karunia dari Allah semata. Banyak orang munafik akan berseru hal yang sama kepada Allah, tetapi pada harinya Allah akan tahu siapa yang benar-benar memuliakan Dia.

Tuhan Yesus menunjukkan melalui perumpamaan bahwa yang membedakan kita adalah mereka yang mendengarkan dan melakukannya. Mereka yang mendengar Firman Allah, seperti kita sekarang, belum tentu melakukannya. Mendengarkan adalah langkah pertama dalam mengetahui Firman Allah, tetapi tidak cukup sampai di situ, kita harus melakukannya. Ketika kita mendengarkan sabda Allah, kita harus memeliharanya (Lukas 11:28), dan yang berbahagia adalah mereka yang melakukannya (Yohanes 13:17).

Continue reading »

Tagged with:  
Posted (binsar) in Christianity, Article on January-30-2008

An Act In Sister Act Singing‘               Mereka menari dan menyanyi. Bertepuk tangan dalam harmoni. Semua bagian tubuh mereka bergerak mengikuti irama seakan-akan mengajak kita untuk membebaskan diri dari kekakuan kita. Suara keluar dengan lantang. Jantung bergetar mendengar kesungguhan mereka bernyanyi. Yaps, ini bukan ciri dari paduan suara yang menyanyi dalam cuplikan film Sister Act, ini adalah ciri-ciri saudara-saudara kita yang berkulit hitam ketika mereka bernyanyi di gereja. Mereka bernyanyi “Negro Spiritual.” Apa itu Negro Spiritual?

‘               Setiap manusia menginginkan kebebasan. Sejarah membuktikan bahwa kaum kulit hitam pernah mengalami penindasan hak-hak asasi mereka. Makna kebebasan dalam peribadatan negro spiritual didasarkan atas pengalaman hidup mereka yang berkisar tentang perjuangan mereka untuk memperoleh kebebasan, hak yang sama dengan kaum kulit putih yang pada akhirnya membawa perubahan terhadap nilai-nilai yang telah ada. Kebangkitan spiritual mereka lewat lagu-lagu dikenal dengan istilah negro spiritual. Negro spiritual merupakan ekspresi mereka akan pengalaman yang pernah mereka dapatkan dari pengalaman mereka yang pahit, dan pengharapan mereka akan adanya sebuah pembebasan. Lagu-lagu negro itu sendiri awalnya dikenal dalam gereja komunitas kulit hitam.
‘             Musik Negro Spiritual adalah musik yang kaya akan ritmik. Hal ini disebabkan karena dasarnya adalah musik Afrika yang mengembangkan permainan alat musik perkusi. Musik negro spiritual terdiri dari tangga nada pentatonik (hanya terdiri dari 5 nada). Tetapi pada perkembangannya memungkinkan jika digunakan tangga nada heptatonik terutama pada abad 19 (untuk musik-musik jazz dan blues). Harmoni-harmoni yang digunakan pada umumnya sangat sederhana tetapi kokoh.

Continue reading »

Tagged with:  

Posted by binsar on 08 Oct 2007 at 04:06 pm | Tagged as: Article, Christianity

In the last two decades the world has suffered many tragedies and disasters. What I mean with tragedies and disasters are those inescapable and sometimes unexpected events that were caused by nature or human that brings suffering towards human. Indonesia has suffered a lot of them during the past decade. We can name several big events that shocked the world such as tsunami in Aceh and Nias, earthquake in Nias, earthquake in Jogyakarta, place crashed at Manado Ocean, ship sink, and many more. These events have made the nations mourn and spent a lot of energy in recovering.

The overwhelming period of continuous disasters has turned the people into a survival mode. People don’t have time to think about the ‘why’ question and will instantly have the ‘how to’ question. The pain and trauma are so intense that people sometimes didn’t know what had hit them. However these wounds will not be healed because they are distracted and turned to a ’survival’ mode. These questions will rise, sooner or later, when people have time to think about what had happened. I would argue that one of the ways of dealing with trauma is by talking about them instead of trying to bury them in the past. This is exactly why I want to address the ‘why’ question in this context.

Continue reading »

Tagged with:  

Posted by binsar on 27 Aug 2007 at 10:32 am | Tagged as: Article, Christianity, Interreligious Dialogue

This is my paper that was presented at Caux, on the theme “Belief and Culture: Fuelling or Resolving Conflict? Theme of the Day in Caux”.

First of all I would like to thank you for this wonderful opportunity to share my experience and my conviction with these two wonderful people, Grand Rabbi Marc Raphael Guedj and Prof. Nasyr Abu Zayd. As introduced my name is Binsar Jonathan Pakpahan. I am a vicar of a protestant church and now doing my PhD in

Amsterdam. I am working on my dissertation with the title: “Towards theology of remembrance: a basis for forgiveness and reconciliation.” Basically I want to do my research on the importance of remembrance in order to be able to forgive and reconcile. So, instead of saying forgive and forget I want to say that we have to remember and forgive. This issue alone has been in the air throughout our conference.I think I need to be clear about my background before I will say my opinion on this topic. I am Indonesian which is the country with the biggest Moslem population in the world. I was born in a Christian family for quite a few generations, raised in Jakarta, a melting pot metropolitan where I met all kinds of people. I went to public school which means that most of my friends are Moslem. I still remember that 15 years ago I was able to exchange inter-religious jokes with my Moslem friends. I never realized that they were inter-religious until years later. One of my friends during primary school told me that we Christians only pray once a week, and he told me that we are kafir in a joking way. Then I asked him, “What does kafir mean? He said that kafir means pagan, then I said, “Well you must be mistaken because we have three Gods and our God outnumbered your God.”

Then things started getting bad after 9/11. The global situation gotten worse ever since and after Soeharto regime fell there are more groups in Indonesia that want to have the Syariah (Moslem law) to be implemented in Indonesia. This is the time when I entered my theological studies. During that time we organize an inter faith discussion group about theological questions among students. I also remember the time when we used to play soccer or badminton together with my Moslem friends from Islamic University. We often joked about having a bet on conversion, meaning whoever loses convert.

Continue reading »